Search

Tampilkan postingan dengan label Kuliah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah. Tampilkan semua postingan

Pengenalan Bahsa C++

Apakah itu Bahasa C++ ?

C++ pada dasarnya adalah bahasa pemrograman yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari bahasa C dan telah menggunakan pendekatan berorientasi objek (object oriented). Akan tetapi, bahasa C++ masih mengikuti orientasi secara prosedural (procedural oriented) sehingga banyak yang mengatakan bahwa bahasa C++ adalah bahasa pemrograman hybrid, tidak hanya berorientasi pada objek.

32 Kata Kunci dan Library

Dalam bahasa C ++ terdapat 32 kata kunci (keywords) yang telah terdefinisikan:
auto double int struct
break else long switch
case enum register typedef
char extern return union
const float short unsigned
continue for signed void
default goto sizeof volatile
do if static while

Algoritma

Banyak orang bertanya, “Apa yang harus saya lakukan pertama kali untuk memulai bahasa pemrograman seperti C++? Memiliki programnya? Banyak membaca?”. Sebenarnya untuk mempelajari bahasa pemrograman, tak hanya C++, ada satu hal penting yang tidak boleh terlewatkan, yakni Algoritma.
Algoritma dapat diartikan sebagai urutan langkah-langkah dalam menyelesaikan suatu masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Istilah “logis” adalah kata kunci dalam algoritma. Dalam menyusun suatu algoritma, setiap langkah-langkah harus bersifat logis dan jelas benar-salahnya. Terkadang orang ‘malas’ untuk membuat algoritma karena terkesan rumit dan memperlambat penyelesaian masalah. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah dengan adanya algoritma ini justru kita dapat menyelesaikan masalah dengan lebih baik dan mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut dengan lebih efektif dan efisien.
Aturan penulisan algoritma yang dipakai adalah secara grafis (prosedural). Berikut adalah simbol dasar algoritma yang akan dipakai:
Meskipun tujuan akhir dari program adalah menghasilkan sesuatu yang serupa, namun pola pemikirandalam algoritma untuk setiap orang dapat berbeda-beda. Disinilah letak ide dan kreativitas kita diuji, sejauh mana kita dapat merealisasikan ide kita dalam bentuk program dalam menyelesaikan permasalahan di sekitar kita.

INSTRUKSI OUTPUT SEDERHANA

Sebagai langkah awal dalam memahami bahasa C++, mari kita mulai menuliskan program di bawah ini:
INPUT:
// my first program in C++#include <iostream>
#include <conio.h>
using namespace std;
int main ()
{
cout << “Hello World!”;
getch();
return 0;
}
OUTPUT:
Hello World!
Berikut adalah penjelasan dari program diatas :
// my first program in C++
Baris ini merupakan komentar. Setiap kalimat yang diawali dengan double slash (//) pada setiap baris akan menjadi suatu komentar. Kalimat tersebut tidak akan mempengaruhi proses program.
#include <iostream>
Karakter # disebut sebagai preposcessor. Pada setiap kali compiler dijalankan, maka prepocessor membaca source code, mencari baris yang memiliki karakter awal # dan jika menemukan maka akan menjalankan perintah pada baris itu sebelum compiler berjalan.
Dalam kasus ini, maka perintah include <iostream> berarti program ini berjalan dengan menyertakan library/file header <iostream>.
#include <conio.h>
Mengikutsertakan library <conio.h> dalam program ini.
using namespace std
setiap elemen dari standard library C++ menggunakan spasinama (namespace), namespace adalah name std. Hampir semua sourcecode yang disusun merupakan standard dari name std.
int main ()
Baris ini mendeklarasikan fungsi utama dari program ini. Fungsi utama akan dieksekusi pertama kali setiap kali program c++ berjalan. Singkatnya, inti dari seluruh program c++ berpusat pada fungsi utama ini.
Baris-baris yang telah dijelaskan sebelumnya dapat kita sebut dengan baris kepala. Selanjutnya, kita akan masuk kepada baris badan yang ditandai dengan tanda kurung ({ }). Baris badan adalah inti dari program yang akan dieksekusi.
cout << ”Hello World”;
cout adalah suatu perintah yang berfungsi untuk memasukkan bagian karakter ”Hello World” ke dalam standard ouput stream (yang biasa kita kenal tampilan pada layar).
cout didefinisikan pada library iostream. Untuk menutup pernyataan, digunakan tanda (;).
getch();
Untuk beberapa compiler C++ dibutuhkan sebuah file header yang bernama <conio.h>. Selanjutnya kita menempatkan sebuah fungsi bernama getch() sebelum program diakhiri. Maksud dari penggunaan ini adalah agar tampilan ’tertahan’ untuk sementara waktu. Jika tidak, maka proses akan berjalan tanpa kita dapat melihat hasilnya.
return 0;
baris ini menyatakan fungsi utama program telah berakhir. Perintah return diikuti oleh kode, dalam hal ini kode 0. Kode ini diinterpretasikan sebagai tanda bahwa program telah dieksekusi tanpa terjadi error. Cara ini adalah cara yang umum dalam mengakhiri program c++.
Lalu, apa yang terjadi jika program ditulis seperti ini ?
INPUT:
// my first program in C++#include <iostream>
#include <conio.h>
using namespace std;
int main (){ cout << “Hello World!”; getch(); return 0; }
OUTPUT:
Hello World!
Apakah terjadi kesalahan pada sintaks?? Tentu tidak. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada kasusini: C++ membaca sesuai urutan baris (mengeksekusi dari urutan paling atas ke paling bawah); dan C++ memisahkan pernyataan yang satu dengan yang lainnya dengan tanda (;), tidak dengan memisahkan baris.
Mari kita lanjutkan ke latihan berikutnya:
INPUT:
/* Bentuk baru dalamMenuliskan komentar */
#include <iostream>
#include <conio.h>
using namespace std;
int main ()
{
cout << “Hello World! “; // menampilkan Hello World!
cout << “I’m a C++ program”; // menampilkan I’m a C++ program
getch();
return 0;
}
OUTPUT:
Hello World! I’m a C++ program
Tidak jauh berbeda dengan contoh di awal, disini kita mencoba untuk menampilkan karakter namun dengan jumlah lebih banyak. Adapun hal yang baru pada program yang kita buat sekarang, yaitu tanda /*… … */. Tanda tersebut berfungsi sama halnya dengan double slash (//), sebagai komentar, namun tidak bergantung pada baris yang dijadikan komentar.
// :    Tanda ini menandakan bahwa tulisan yang ditulis berikutnya adalah komentar, namun hanya berlaku pada baris yang ditandai tanda tersebut.
/*….*/ : Seluruh tulisan yang berada dalam tanda ini akan menjadi komentar, tidak bergantung pada letak ditulisnya tulisan komentar tersebut.

Dikutip dari buku panduan praktikum PTI B ITB

Tugas UAS SIM (Sistem Informasi Manajemen) Yudharta Pasuruan

1. Apa yang dimaksud sistem informasi terstruktur dan tidak terstruktur? Berikan contohnya!
Sistem informasi terstruktur adalah sistem informasi yang berjalan diatas norma-norma organisasi yang berlaku untuk semua, yang sesuai dengan kedudukan/jabatannya masing-masing di dalam organisasi. 
Contoh : Informasi kenaikan gaji

Sistem informasi tidak terstruktur adalah sistem-sistem yang berlaku di suatu lingkungan organisasi secara tidak formal, namun tetap mengikat dan berpengaruh pada organisasi yang bersangkutan tersebut.
Contoh : Surat izin tidak masuk kuliah

2. Jelaskan aktivitas-aktivitas manajemen yang terdapat di dalam:
    a. Pengendalian Operasional
    b. Pengendalian Manajemen
    c. Perencanaan Strategis
Aktivitas-aktivitas manajemen yang terdapat di dalam pengendalian operasional adalah: Membuat dan memelihara prosedur terdokumentasi untuk menangani situasi dimana ketiadaannya dapat menyebabkan deviasi dari kebijakan dan tujuan dan sasaran lingkungan; Menetapkan kriteria operasi dalam prosedur; Membuat dan memelihara prosedur yang terkait dengan aspek penting lingkungan yang teridentifikasi dari barang dan jasa yang digunakan organisasi dan mengkomunikasikan prosedur dan persyaratan terkait kepada pemasok dan kontraktor.

Aktivitas-aktivitas manajemen yang terdapat di dalam pengendalian manajemen adalah: mengukur prestasi, memutuskan tindakan pengendalian, merumuskan aturan keputusan baru untuk ditetapkan personalia operasional dan mengalokasikan sumber daya.

Aktivitas-aktivitas manajemen yang terdapat di dalam perancangan strategi adalah mengembangkan strategi sebagai sarana suatu organisasi untuk mencapai tujuannya.

3. Jelaskan proses dalam pengontrolan informasi!
Proses yang ada di dalam pengontrolan informasi adalah sebagai berikut:
Semua data yang diperoleh dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya diproses. Di dalam pemrosesan tersebut data dibedakan menjadi 2, yaitu informasi yang berguna dan informasi yang tidak berguna. Informasi yang berguna itulah yang nantinya akan dipakai, sedangkan informasi yang tidak berguna akan dibuang.

4. Apa yang dimaksud evolusi dan aplikasi sistem informasi berbasis computer (CBIS)? Jelaskan!
Yang dimaksud dengan evolusi dan aplikasi CBIS adalah bahwa suatu sistem informasi manajemen tidak serta merta langsung menjadi suatu sistem yang bisa digunakan, melainkan ada tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menghimpun, menyimpan dan memproses data dari terciptanya sistem yang mengelola data tersebut menjadi sebuah informasi dan dari informasi tersebut terciptalah sistem pendukung keputusan berupa EDP, SIM dan DSS.

5. Apa beda EDP, DSS dan SIM? Jelaskan!
Perbedaan EDP, SIM dan DSS:
EDP:
a. Fokus pada data
b. Proses transaksi yang efisien
c. Mengintegrasi file-file dari pekerjaan sejenis
d. Membuat ringkasan untuk laporan bagi manajemen

SIM:
a. Mendukung pengambilan keputusan yang bersifat terstruktur pada level operasional dan manajemen
b. Umumnya SIM berorientasi pada laporan dan pengawasan. SIM didesain untuk membantu membuat laporan kegiatan yang ada serta menyediakan pengawasan harian terhadap kegiatan tersebut
c. SIM bergantung pada data gabungan dan alur data
d. SIM tidak terlalu memiliki kemampuan analisis
e. Umumnya digunakan untuk mengambil keputusan dengan menggunakan data masa lalu dan kini
f. Relatif tidak fleksibel dan lebih memiliki orientasi internal daripada eksternal

DSS:
a. DSS menawarkan fleksibilitas, adaptabilitas dan respon yang cepat
b. DSS dapat bekerja dengan hanya mengandalkan sedikit bantuan bahkan tanpa bantuan seorang programmer
c. DSS menyediakan bantuan untuk pengambilan keputusan dan masalah yang jalan keluarnya tidak dapat dispesifikasi
d. DSS menggunakan peralatan dan model analisis data yang mutakhir

6. Jelaskan tentang keamanan sistem informasi? Ancaman apa saja yang ada di dalamnya?
Keamanan sistem informasi mengacu pada perlindungan terhadap semua sumber daya informasi perusahaan dari ancaman pihak-pihak yang tidak berwenang.

Ancaman terhadap keamanan sistem informasi antara lain:
a. Kerusakan hardware
b. Software tidak berfungsi
c. Tindakan-tindakan personal
d. Pencurian data atau peralatan
e. Kebakaran
f. Permasalahan listrik
g. Kesalahan oleh user
h. dan masih banyak lagi yang lainnya.

7. Sebutkan proses dan kerangka kerja dalam pengambilan keputusan keorganisasian!
Proses dalam pengambilan keputusan keorganisasian(menurut Rubeinstein dan Haberstroh):
a. Pengenalan persoalan atau kebutuhan
b. Analisis dan laporan alternatif-alternatif
c. Pemilihan alternatif yang ada
d. Komunikasi dan pelaksanaan keputusan
e. Langkah lanjutan dan umpan balik hasil keputusan

Kerangka kerja dalam pengambilan keputusan keorganisasian:
a. Sistem pengambilan keputusan
    - Sistem keputusan tertutup
    - Sistem keputusan terbuka
b. Pengetahuan tentang hasil
c. Tanggapan keputusan
    - Keputusan terprogram
    - Keputusan tidak terprogram
d. Uraian tentang pengambilan keputusan
e. Kriteria untuk pengambilan keputusan
f. Relevansi konsep keputusan terhadap perancangan SIM

8. Mengapa etika dalam komputer itu penting? Jelaskan!
Etika dalam komputer penting karena tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan seputar penggunaan komputer yang meliputi kejahatan komputer, netiket, e-commerce, pelanggaran HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan tanggung jawab profesi.

Nama        : Akhmad Barizi
NIM           : 2010.69.04.0025
Kelas        : A
Fakultas   : Teknik Informatika
Study        : SIM (Sistem Informasi Manajemen)
Semester : IV
Dosen        : Khasan Basori, S.Kom, MM



Perubahan Politik Indonesia, Antara Demokrasi dan Sentralisme Politik

Oleh: Amsar Dulmanan (Dosen STEKPI dan STAINU Jakarta, anggota tim kerja Lembaga Kajian 164)

Ignes Kleden, mencoba melakukan evaluasi terhadap perkembangan politik dan budaya politik Indonesia era reformasi, Yang sampai pada kenyataan bahwa reformasi yang berlangsung tidak menunjukan hadirnya efektivitas penggunaan kekuasaan, perubahan atau pembangunan politik, kecuali pada perspektif perebutan kekuasaan. Dalam fokus politik makro lebih didominasi pada hubungan antar aktor-aktor politik. Bahkan secara keseluruhan politik Indonesia masih terkonsentrasi pada kepentingan Negara dibanding pada kepentingan masyarakat atau rakyat. Begitu juga tentang kebijakan desentralisasi yang dilandasi dengan gerakan reformasi, bagi Ignas hanya memindahkan “sentralisme” politik dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.[1]

Sisi lain, “transisi” yang terjadi menciptakan konflik-konflik politik pada tingkatan partai politik, yaitu antara kepentingan-kepentingan (elitis maupun kolektif) serta antara kepentingan dengan ideologi. Seperti yang disinyalir oleh Dedi Irawan [2] dimana konflik politik yang muncul adalah tarikan pada perspektif konservatisme yang mencoba kukuh pada pemikiran, sistem dan mekanisme yang lama –sebagai konsepsi konsolidasi awal kejayaan Soeharto–dengan kelompok yang berkeinginan tanggap terhadap perubahan serta tuntutan reformasi terhadap ideologi politik golkar. Isue yang signifikan dalam perdebatan dan konflik yaitu mengenai peran militer-sipil dalam perubahan politik Indonesia,. Juga mengenai modal politik dari institusi, badan atau lembaga yang ada dimana ketika awal kehadirannya merupakan basis massa dari golkar dalam upaya menciptakan mobilitas politik akibat masifnya gerakan politik kelompok “komunis”. Kesemua konflik tersebut tentu saja bermuara pada kepentingan tarik ulur tentang “suksesi” dalam partai pasca Soeharto dari vested interest tiga pilar penyanggah golkar, antara ABRI, Teknokrat dan Profesional.

Begitu pula yang tercermati oleh Heru Cahyono, masa reformasi membawa pada dua arus utama dari konflik. Pertama pada tarikan pada konflik kepentingan dari perebutan kekuasaan dan arus kedua adalah ketegangan ideologis yang sangat kentara pada gerakan atas “Islamic state” dari sebagian kelompok muslim yang berseberangan dengan kelompok nasionalis –nasionalists state. [3] Disamping itu pada dimensi perebutan kekuasaan terdapat pola hubungan internal partai-partai politik dimana pola hubungan pasca reformasi “partai” politik keberadaan menjadi keharusan dalam kehidupan politik modern di Indonesia.

Disinilah partai politik, disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola konflik dan pola hubungan dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu 1999, yaitu realita penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.

Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.

Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.

Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur sebagai Presiden, walaupun disisi lain, terdapat berbagai kepentingan politik yang ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan, kelompok penguasa “korporatisme” nasional yang dihegemoni Soeharto atau Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau Negara lain (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.

Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia . Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.

Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD 1945 –dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan amandemen merupakan tindakan yang diharamkan—walau terdapat beberapa amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat.[4]

Tarikan-tarikan politis pada kepentingan dalam konstitusi atau penyusunan UU di MPR merupakan wujud dari keinginan mempengaruh dan memanfaatkan ketetapan politik dalam relasi-relasi kekuasaannya, seperti pada sistem perwakilan rakyat untuk mengadopsi “bikameral’ (terdiri dari DPR dan DPD) dan tetap “unikameral” seperti berlaku sebelum reformasi (terdiri dari DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan). Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau tetap melalui MPR.
Berbeda di masa Soeharto, dimana ideologi-ideologi tidak muncul kepermukaan, era reformasi membuka kembali gairah ideologis dan muncul dengan semangat perjuanganan primordialismenya. Kelompok-kelompok nasionalis teguh pada tuntutan atas prisip-prisip nasionalisme, bahkan di antaranya adalah dari kepentingan nasionalis radikal. Golongan kiri mencoba bangkit –walaupun kurang berhasil—melalui Partai Rakyat Demokratik, sedangkan golongan Islam kembali memperjuangkan suara ideologisnya mengenai penerapan Syariat Islam dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) sejak SU MPR 1989 kerap menuntut agar pemberlakuan asas tunmggal bagi organisasi sosial politik dicabut. Hebatnya dalam SUT MPR 2000, beberapa Fraksi MPR meminta dipertimbangkan kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta untuk dimasukan dalam Pancasila.

Di era reformasi hingga saat ini aliran-aliran “lama” [5] muncul kembali walau dalam kemasan baru, PDIP mewakili abangan dan non Islam, Golkar wujud dari Islam modern (luar Jawa) PKB sebagai Islamtradisionalis, PPP wakil dari kaum modernis dan tradisioalis, sementara PAN, PBB, PK meruapakan Islam modernis. Dari pendekatan agama yang teridentifikasi, maka itensitas emosi politik menjadi sangat mendalam, mereka terbelah menjadi dua kelompok besar yakni Islam dan non Islam. Dari dua kelompok besar tersebut dilihat pada kepentingan kekuasaan menjadi perseteruan kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Disinilah yang sampai saat ini menjadi masalah tersendiri bagi proses demokratisasi dan penciptaan masyarakat Indonesia yang terbuka.

Jika dilacak lebih jauh, di Indonesia pola perseteruan ideologis yang tercermin dalam partai politik memang sejarahnya hadir di masa pergerakan kemerdekaan yang oleh Feith meupakan perebutan pengaruh sosial politik dari lima ideologi besar, yaitu nasionalis radikal, komunisme, sosialisme demokrat, Islam, dan tradisional Jawa. Dari sini perdebatan ideologis tentang konsepsi politik kenegaraan mengalami dinamisasi, sementara partai-partai yang berbasis aliran muncul membawa semangat ideologisnya masing-masing hingga sekarang (kecuali komunisme). Fase-fase sejarah dari perdebatan ideologis dapat terlihat dalam fase-fase sejarah “politik” seperti sidang BPUPKI –konstituante, dan gerakan perjuangan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia . Juga beberapa konflik baru yang muncul dari perseteruan “agama” atau primordialisme, sesungguhnya bila dicermati merupakan konflik-konflik politik dan perebutan “elitis” atas kekuasaan.

Kembali pada pemahaman historisisme politik Indonesia sebagai real politik dari pertentangan kepentingan dan ideologi, Ignas Kleden memberikan pijakan awal sebagai dasar pecermatan. Pertama perlu ada dasar empiris untuk memahami tentang kekuatan-kekuatan nyata –seperti ABRI— dalam pertarungan kekuasaan yang terjadi. Juga untuk mengetahui seberapa signifikasinya pembesaran jumlah partai politik dengan penguatan partisipasi politik kepartaian sebagai bentuk representasi kesadaran rakyat atau hanya “pragmentasi” kelompok elite partai. Kedua adanya norma-norma yang menjadi dasar penilaian dari realitas politik yang telah dan sedang berlangsung di Indonesia . Apakah gerakan pembaruan dan pembangunan politik di masa reformasi menunjukan proses mendekati atau menjauh terhadap kriteria normatif yang ditetapkan atau disepakati.

Ketiga,. Hubungan dari ketentuan normatif dan kenyataan empiris dalam politik praktis, hal ini melihat perbedaan yang muncul dari hubungan antara kenyataan empiris dengan pegangan teoritis dalam ilmu pengetahuan. Juga mengingat dalam kehidupan politik keadaannya lebih kompleks, dimana norma-norma politik merupakan muatan yang berisi norma-norma yang bersifat tetap dan mempunyai daya universalitas, disamping norma-norma yang terbentuk berdasar konsesus nasional pada masa tertentu.

Dari tiga kriteria , maka muatan reformasi dapat diposisikan selalu sarat dengan perebutan kekuasaan (power building) dan bukan pada efektivitas penggunaan kekuasaan (the use of power). Institusionalisasi politik terbelah akibat dari peneguhan personalisasi politik dari elite-elite di lingkar kekuasaan. Maka bawaan dari perebutan kekuasaan dan persolisasi politik memunculkan diskursus politik yang lebih terfokus pada persoalan penggantian dan posisi elite politik tetapi bukan pada bentuk-bentuk kompetisi program-program kerja partai. Partai politik masih menjadi alat dari kepentingan mobilisasi politik. Parahnya dinamika politik masa reformasi adalah lebih merupakan politik kesempatan (the politics of opportunities) dan bukan seni dari kemungkinan-kemungkinan (the art of the possible), dimana kesempatan adalah kemungkinan yang tersedia dalam masa sekarang sedang kemungkinan adalah kesempatan yang dapat dan masih harus diciptakan di masa depan.

Catatan Kaki:

1. Lihat: Ignes Kleden, “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998-Mei 2003)” dalam Analisis CSIS, tahun XXXII/2003, No.2, hal. 160-172.

2. Lihat: Dedi Irawan, “Dampak Gerakan Reformasi Terhadap Konflik Politik Internal Golongan Karya (Periode 21 Mei 1998-20 Oktober 1999)” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik No.6/tahun III, April 2002, Hal. 29-46.

3. Lihat: Heru Cahyono, “Panggung Konflik Parpol di Masa Transisi, Tali Temali Pertarungan Kepentingan dan Ideologi” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik No.6/tahun III, April 2002, Hal. 11-28.

4. Kegagalan membentuk Komisi Konstitusi yang dilakukan DMR dalam siding tahunan 2001 menimbulkan gelombang protes dari organisasi non pemerintah-LSM, mereka menganggap kegagalan tersebut sebagai manifestasi keengganan Majelis. Begitu juga dari Koalisi Organisasi Nonpemerintah (Ornop) untuk Konstitusi Baru, Hendardi sebagai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusioa Indonesia (PBHI) meyerahkan cinderamata kepada MPR antara lain berupa korek kuping raksasa serta cek multiguna Rp 100 juta bertuliskan “alat penyogok yang sah untuk Dewan bukan Perwakilan Rakyat” karena telah menyerahkan atau melimpahkan pembentukan Komisi Konstitusi ke Badan Pekerja (BP) MPR yang sesungguhnya tidak lebih dari proses sebelumnya, yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Lihat Heru Cahyono, Ibid., hal. 18.

5. Seperti yang diidentifikasi oleh Clifford Geertz sebagai perbedaan agama dan budaya dalam kelompok Priyayi, Abangan dan Santri. Pendekatan Geertz dikembangkan kembali oleh R. William Liddle pada penelitiannya di Sumatera Utara (di Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar) bahwa hubungan-hubungan antara partai lokal dan kelompok agama, budaya dan etnis sangat kental, sedang relasi yang terbangun adalah relasi primordialisme. Liddle sampai pada kesimpulan perilaku lama akan muncul kembali sendainya Golkar melepaskan hegemoni politik terhadap massa bawah, begitu juga pada pertarungan politik nasional bagi Liddle masih diwarnai dengan konflik-konflik agama. Lihat Heru Cahyono, Ibid., hal. 20.

DEMOKRASI DAN PERANAN WARGA NEGARA DENGAN DEMOKRASI POLITIK

  1. DEMOKRASI

Sekilas tentang Ajaran Demokrasi.

Sebelum paham atau ajaran demokrasi muncul, kehidupan bangsa, masyarakat dan negara di Eropah dilandasi oleh paham agama, atau dinamakan juga dengan “Teokrasi”, yang artinya pemerintahan/negara berdasarkan Hukum/Kedaulatan Tuhan. Penyelewengan paham Teokrasi yang dilakukan oleh pihak Raja dan otoritas Agama, mengakibatkan kehidupan negara-negara di Eropah mengalami kemunduran yang sangat drastis, bahkan hampir-hampir memporak-poranda seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara disana.

Ditengah situasi kegelapan yang melanda Eropah inilah JJ.Rousseau berpendapat bahwa landasan kehidupan bangsa/masyarakat tidak dapat lagi disandarkan pada kedaulatan Tuhan yang dijalankan oleh Raja dan Otoritas Agama, karena sesungguhnya kedaulatan tertinggi di dalam suatu negara/masyarakat berada ditangan rakyatnya dan bukan bersumber dari Tuhan. Bahkan negara/masyarakat berdiri karena semata-mata berdasarkan Kontrak yang dibuat oleh rakyatnya (Teori Kontrak Sosial).

Singkatnya ajaran/teori Kedaulatan Rakyat atau “demokrasi” ini mengatakan bahwa kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat, dan karenanya rakyat yang menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara serta kelembagaannya. Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang Pemerintahan Negara berada ditangan Rakyat.

Ajaran Demokrasi adalah sepenuhnya merupakan hasil olah pikir JJ. Rousseau yang bersifat hipotetis, yang sampai saat itu belum pernah ada pembuktian empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau City State” di Yunani yang digunakan oleh Rousseau sebagai contoh didalam membangun Ajaran Demokrasi yang bersifat mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi.

Adalah bertentangan dengan kenyataan dimana rakyat secara langsung dan mutlak (keseluruhan) memegang kendali pemerintahan negara. Karena justru kenyataannya menunjukan bahwa segelintir (sedikit) oranglah yang memegang kendali pemerintahan negara dan memerintah kumpulan orang yang banyak, yaitu rakyat. Benturan yang tidak terdamaikan antara Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau (yang bersifat mutlak dan langsung) dengan kenyataan empirik kehidupan manusia (yang sedikit memerintah yang banyak), ditambah lagi sebagai akibat perkembangan lembaga negara menjadi “National State” yang mencakup wilayah luas serta perkembangan rakyatnya yang menjadi semakin banyak jumlahnya dan tingkat kehidupannya yang komplek, maka Ajaran Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau ini masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan.

Pada Demokrasi Perwakilan, rakyat secara keseluruhan tidak ikut serta menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan negara.

Untuk menentukan siapakah individu-individu rakyat yang akan mewakili keseluruhan jumlah rakyat di Badan Perwakilan Rakyat ini digunakan mekanisme Pemilihan (Umum) yang bercirikan :

  1. Adanya 2 (dua) atau lebih calon yang harus dipilih ;

  2. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dari calon-calon yang ada, maka dialah yang akan duduk di Badan Perwakilan Rakyat guna mewakili mayoritas rakyat pemilih.

Kemudian hari tata-cara dan model Pemilihan wakil-wakil rakyat berkembang menjadi model-model pemilihan yang bervariasi, tetapi tetap berintikan kedua ciri di atas. Dengan demikian, Demokrasi Perwakilan menjadi tidak bisa dilepaskan dari penyelenggaraan pemilihan (umum) dan prinsip mayoritas vs minoritas.

Dibawah ini akan diuraikan secara singkat rincian unsur demokrasi perwakilan :

- Sumbernya : Gagasan seorang manusia (Filosuf) yang bernama JJ. Rousseau

- Sejarahnya : Sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang diselewengkan di Eropah pada Abad XIX.

- Tujuannya : Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan negaranya.

- Mekanismenya : Keputusan tertinggi yang pasti benar & baik adalah yang ditentukan oleh mayoritas manusia/warganegara yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan yang dibuat oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah & tidak baik.

- Sarananya ; Partai Politik, berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai.

- Pembedanya : Model Demokrasi yang dilaksanakan sangat tergantung pada 2 (dua) aspek, yaitu : (1). sistem pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, dan (2). sifat hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.

- Mottonya : Vox populi vox dei = Suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan, dan Suara yang minoritas adalah suara setan.

Demikianlah Ajaran/Teori Demokrasi berkembang dari waktu ke waktu dan berkembang sesuai pula dengan kebutuhan suatu negara tertentu. Sehingga Ajaran/Teori Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau telah berkembang menjadi Ajaran/Teori Demokrasi Perwakilan yang kemudian berkembang lagi menjadi berbagai model demokrasi perwakilan yang saling bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung pada kondisi masing-masing negara yang bersangkutan.

Semua variasi model demokrasi perwakilan harus tetap berpegang pada 4 (empat) prinsip, yaitu :

1. Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) berada ditangan rakyat ;

2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh sebuah atau beberapa lembaga perwakilan rakyat ;

3. Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui pemilihan umum .

4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.

Tanpa adanya ke-4 ciri pokok diatas secara lengkap, maka suatu tatanan kenegaraan tidak dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi.

Sejarah Demokrasi di Indonesia

Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut “NKRI”) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan.

Penetapan paham demokrasi sebagai tataan pengaturan hubungan antara rakyat disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebahagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya secara langsung di negara-negara Eropah Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropah Barat dan Amerika Serikat. Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.

Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya.

Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal), yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959.

Guna mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara.

Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.

Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila.

Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan dengan model-model demokrasi lainnya yang pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang tidak stabil dan krisis disegala aspeknya.

Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.

Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde Baru.

Tulisan singkat ini bertujuan mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, khususnya dari sudut kajian Ilmu Hukum Tata Negara.

B. PENTINGNYA PEMAHAMAN WARGANEGARA TENTANG NILAI-NILAI DEMOKRASI

Demokrasi merupakan sesuatu yang sangat penting, karena nilai yang terkandung di dalamnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi di pandang penting karena merupakan alat yang dapat di gunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama atau masyarakat dan pemerintahannya yang baik ( good society and good goverment ).

Nilai-nilai Demokrasi memang sangat menghargai martabat manusia, namun pilihan apakah demokrasi liberal atau demokrasi yang lain yang akan di terapkan hal ini tidak dapat lepas dari konteks masyarakat yang bersangkutan.

Nilai-nilai demokrasi menurut Sigmund Neuman (Miriam Budiardjo, ed, 1980:156) adalah :

  1. Sebagai zoon politikon

  2. Setiap generasi dan masyarakat harus menemukan alannya sendiri yang berguna untuk sampai kepada kekuasaan.

  3. Kebesaran domokrasi terletak dalam hal ia memberikan setiap hari kepada manusia untuk mempergunakan kebebasannya serta dapat memenuhi kewajiban sehingga menjadikan pribadi yang baik.

Henry B Mayo mengajukan beberapa nilai demokrasi antara lain :

  1. Menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela

  2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai

  3. Pergantiaan penguasa dengan teratur

  4. Penggunaan paksaan sedikit mungkin

  5. Pengakuan terhadap nilai keanekaragaman

  6. Menegakkan keadilan

  1. DEMOKRASI POLITIK

Literatur ilmu politik pada umumnya memberikan konsep dasar demokrasi. Apapun label yang di berikan kepadanya, Konsep demokrasi selalu merujuk pada pemerintahan oleh rakyat.

Menurut Henry B Mayo Sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijakan umum di tentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang di awasi oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang di dasarkan atas prinsip kesamaan politik dan di selenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Dalam pandangan Lyman Tower Sargent Prinsip-prinsip demokrasi meliputi :

    1. Keterlibatan warga negara dalam perbuatan keputusan politik

    2. Tingkat persamaan tertentu di antara warga Negara

    3. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang di akui dan di pakai oleh warga Negara.

    4. Suatu sistem perwakilan.

    5. Suatu sistem pemilihan kekuasaan masyarakat.

Dari berbagai pendapat di atas, tampak dua kata penting dalam prinsip demokrasi tersebut, adalah “persamaan” dan “kebebasan” atau “kemerdekaan”.

1. Persamaan

Mengandung 5 ( lima ) ide yang terpisah dalam kombinasi yang berbeda yaitu persamaan politik di muka umum, kesempatan,ekonomi, sosial atau hak.

2. Kebebasan atau Kemerdekaan

Mengacu pada kemampuan bertindak tanpa pembatasan-pembatasan atau dengan pengengkangan yang terbatas pada cara-cara khusus tertentu “kemerdekaan” biasanya mengacu kepada kebebasan sosial dan politik. Sumber “hak” dapat bersifat alamiah ( hak asas ) dan yang berasal dari pemerintah ( hak sipil ). Hak-hak sipil antara lain mencakup :

a). Hak untuk memilih/memberikan suara

b). Kebebasan berbicara

c). Kebebasan pers

d). Kebebasan beragama

e). Kebebasan bergerak

f). Kebebasan berkumpul

g). Kebebasan dari perlakuan sewenang-wenang oleh system politik atau hukum

D. Keterkaitan Demokrasi Politik dengan Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Sosial

Demokrasi Politik merupakan arti power demokrasi, Demokrasi yang lain merupakan arti sekunder demokrasi. Arti-arti sekunder demokrasi, misalnya demokrasi sosial, demokrasi ekonomi, demokrasi industrial.

Konsep-konsep demokrasi sekunder tidaklah berdaulat, Sebab kalau sistem politik bukan sistem demokratis persamaan ekonomi tidak banyak berarti dan demokrasi industrial bisa di hapus dengan cepat itulah alasan mengapa demokrasi pertama dan terutama adalah demokrasi politik dengan pengertian bahwa arti penting metode politik demokrasi terutama terletak dalam hasil-hasil samping nonpolitiknya.

Berikut pengertian dari masing-masing arti demokrasi sekunder:

a. Demokrasi Sosial merupakan suatu keadaan dan gaya masyarakat yang endogen. Ciri demokrasi sosial (rakyat) adalah :

1. dictator ship of a mayority over a minoritys

2. titik beratnya pada kemajuan ekonomi dan sosial. Demokrasi ini merupakan counter terhadap demokrasi barat.

b. Demokrasi ekonomi merupakan suatu demokrasi yagn tujuan kebijaksanaan primernya ialha pembagian kembali kekayaan dan pemerataan kesempatan ekonomi.

c. Demokrasi Industrial merupakan demokrasi dalam pabrik-pabrik. Dalam praktek cita-cita demokrasi hanya terwujud pada tingkat makro

E. Demokratisasi dan Civil Society.

Alferd Stepon (1996:1417) dalam menjelaskan demokratisasi ( proses menjadi demokrasi ) Pemerintahan yang di dominasi militer membagi masyarakat dalam 3 arena yaitu Masyarakat sipil, Masyarakat politik, dan Negara.

Masyarakat Sipil merupakan arena berbagai gerakan social serta organisasi sipil dari semua kelas. Masyarakat sipil pada dasarnya dapat meruntuhkan sistem otoriterisme.

Masyarakat politik adalah arena masyarakat bernegara secara khusus mengatur dirinya dalam konstelasi politik guna memperoleh kontrol atas kekuasaan pemerintahan dan aparat negara. Civil Society pada dasarnya merupakan upaya memberdayakan masyarakat itu sendiri dalam memperoleh hak-haknya sebagai warga negara dengan demikian, civil society (masyarakat madani) sebagai pemberdayaan warga Negara akan dapat menolong demokratisasi apabila mampu meningkatkan efektifitas masyarakat politik untuk menguasai/mengontrol Negara.

Kesimpulan

Peranan warga Negara yang bersifat aktif, pasif, positif, dan negatif, pada dasarnya merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip dari demokrasi politik, maupun demokrasi sekunder yang lain ( demokrasi ekonomi, demokrasi sosial). Pemahaman setiap warga Negara terhadap nilai-nilai demokrasi dan perkembangannya, akan dapat memperkuat optimisme dan komitmennya terhadap peranannya. Nilai-nilai demokrasi sangat menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, begitu pula prinsip-prinsip yang dianutnya seperti prinsip kebebasan/kemerdekaan, persamaan dan toleransi menawarkan penataan kehidupan masyarakat dan bernegara yang lebih baik dan manusiawi.

Civil society yang merupakan pemberdayaan warga Negara ( optimalisasi pengembangan peranan warga Negara) akan menunjang demokratisasi (proses menjadi demokrasi), jika mampu meningkatkan efektifitas masyarakat politik (political society) sehinnga mampu melakukan control/menguasai Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Cholisin.2000. IKN-PKN. Jakarta: Universitas Terbuka.

Cholisin,dkk.2005.Dasar-dasar ilmu politik.Yogyakarta:FIS UNY.

KOMPAS, 16 Agustus 2007,Melongok Demokrasi Indonesia”

www.csis.or.id

www.komunitasdemokrasi.or.id

Blogger Template